"Apakah kau percaya bahwa aku ada?" tanyanya.
Aku tidak perlu bertanya lagi, aku sudah mengerti apa maksudnya.
"Yah, bagaimana menjawabnya ya, . . sebenarnya bisa dibilang percaya tidak percaya sih" jawabku diplomatis.
"Tapi, apakah kau tidak berpikir bahwa . . . kalau kau tidak percaya bahwa aku ini ada, maka aku tidak akan pernah ada?"
Mataku memandangi dirinya intens. Kenapa dia mendadak mengintrogasiku seperti ini? Out of character sekali. "Aku tidak terlalu percaya bahwa kau ada." Lanjutku. "Karena, jika aku terlalu percaya, maka hal itu akan membuatku berharap berlerbihan, dan itu adalah hal yang ingin kuhindari. Aku percaya pada kemungkinan bahwa kau memang ada, namun aku tidak mau berharap lebih. Dan jika kebenaran berkata bahwa kau memang tidak ada dan tidak nyata, maka aku harus menerimanya, karena aku tidak bisa mengubah kebenaran, tapi kebenaran bisa mengubahku. Maka dari itu, aku tidak mau terlalu percaya bahwa kau ada"
Sejurus kemudian ia terdiam, melamun, dan berpikir. Di saat-saat seperti ini aku tidak pernah mampu untuk mengetahui isi pikirannya. Terkadang sifat misterius dan tertutupnya sering membuatku kesal.
"Kau juga misterius dan tertutup, tidak sadar diri ya?"
Oke, mungkin ini memang pertanyaan yang santai dan biasa, namun jika orang ini yang bertanya, pertanyaan ini akan terdengan sangat menyebalkan. Ditambah lagi dengan nada yang mononton dan raut wajahnya yang meminta untuk di tampar, dua aksi ini selalu berhasil untuk membuatku terganggu.
"Nada yang ku pakai tidak mononton kok, dan memangnya, wajahku segitu terlihatnya minta di tampar ya?" Tanya orang itu.
Ah, ya, kenapa aku bisa melupakan fakta bahwa dia bisa membaca pikiran? Dia bisa membaca pikiranku karena kita berada dalam satu tubuh ‒ oke, ini memang terdengar aneh. Maksudku, 'dua jiwa dalam satu tubuh,'? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Tapi yang lebih anehnya lagi, kenapa dia bisa membaca pikiranku sementara aku tidak bisa membaca pikirannya? How unfair.
Aku tahu, aku anak yang tertutup, bahkan terhadap keluargaku sendiri. Dan orang itu tahu bahwa aku tertutup karena aku takut untuk dikhianati. Ini semua karena pada masa kecilku. Aku teringat masa-masa lampau. Masa-masa ketika aku duduk di bangku SD. Kenangan pahit yang ingin ku lupakan, namun di saat yang sama, aku tahu aku harus belajar dari masa itu agar bisa menjadi lebih baik lagi.
Aku memalingkan pandanganku kepadanya. Dan aku melihat air mukanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ini baru pertama kalinya aku melihat dirinya seperti ini. Tatapannya kosong, seperti tidak mau berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya. Tapi, apakah orang seperti dirinya bisa merasakan kesedihan? Apakah orang seperti dirinya benar-benar sedih? Atau mungkin, akulah yang terlalu sedih sehingga orang yang kupandang juga terlihat sedih?
Dan sejurus kemudian, dengan pertanyaan tak terjawab, aku tahu saat ini juga aku harus kembali ke alam nyata [ ].
Aku memalingkan pandanganku kepadanya. Dan aku melihat air mukanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ini baru pertama kalinya aku melihat dirinya seperti ini. Tatapannya kosong, seperti tidak mau berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya. Tapi, apakah orang seperti dirinya bisa merasakan kesedihan? Apakah orang seperti dirinya benar-benar sedih? Atau mungkin, akulah yang terlalu sedih sehingga orang yang kupandang juga terlihat sedih?
Dan sejurus kemudian, dengan pertanyaan tak terjawab, aku tahu saat ini juga aku harus kembali ke alam nyata [ ].