Sabtu, 19 Januari 2013

Tones [3]


3
Steve Muljoto



“Mau tambah?”
Aku memandangi kedua bola mata itu. Polos, pikirku. Namun sebuah kepribadian baru memancar dari sorot itu. Sebuah kebijakan. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Dirinya yang dulu masih polos dan lugu, yang sering menangis hanya gara-gara ingin membelaku di depan orangtua kami, sekarang sudah beranjak untuk berpikir secara rasional dan dewasa. Saat ini  dia sudah bisa bersikap dewasa dan mengambil keputusan secara lebih bijak. Terkadang, aku suka terharu sendiri mengingat perkembangannya dari dulu sampai sekarang.
Koh, kok malah bengong, sih?”
Aku tersentak dari lamunanku “Oh, iya. Uh . . iya, aku mau tambah kopinya.”
Ia menghela nafas pendek. Lalu mulai menuangkan cairan hitam yang masih mengepul ke dalam cangkirku.
“Emangnya, hari ini aku beneran ngga ada acara?” tanyanya polos.
Sebagai jawaban, aku hanya memanggutkan kepala.
“Serius nih?”
Aku menggangguk lagi.
Kokoh ngga bercanda kan?”
Untuk ketiga kalinya, aku menggangguk.
Ia menautkan alisnya. Setelah beberapa saat kemudian, barulah ia merespon;
“Aneh,” ia memberi jeda “ngga biasanya ada sehari tanpa acara manggung. Apa . . . aku udah ngga terlalu laku lagi, ya?” ujarnya lebih kepada dirinya sendiri. Dan seketika, aku langsung membantah hal tersebut.
“Jangan ngawur. Kebetulan hari ini aku ngejadwal kau biar bisa istirahat total. Soalnya kan, besok kau itu sudah mulai tur keliling Asia. Aku ngga mau kesehatan kau sampai lemah  hanya karena aktivitas panggung.” Celotehku panjang lebar.
Dari pergerakan matanya, aku bisa melihat kalau dia itu sedikit terkesima. Namun ia kembali berkata, “Hm, kalau gitu, kita nonton DVD cassete bareng yuk, Koh.” Ujarnya riang.
“Ya, boleh saja. Memang kau mau nonton apa?”
Ia tercenung. Kokoh ada saran?”
Baik, mari kita telisik. Film-film indie kebanyakan bergenre horror erotis, film barat sedang tak ramai, film kung fu mandarin cukup asik, tapi yang membuatku penasaran…
“I AM.”
       Alisnya berkedut. Wajahnya meminta penjelasan.
“Itu film dokumentasi para artis SM Entertaiment. Kokoh punya DVDnya. Kau mau   tonton tidak?”
Bola matanya menerawang. Lalu dengan sebuah gestur gelengan kepala, aku pun menyerah.
“Terus, kau mau nonton apa?”
“Beastly.”
“Cerita apaan itu?”
“Beauty and the Beast versi abad 21. Aku udah baca bukunya. Tapi belum nonton filmnya. Kokoh mau nemenin aku nonton?”
Film roman remaja. Pasti akhirnya akan ada ending hapilly-ever-afternya. Mainstream, tapi apa salahnya nonton untuk membunuh kebosanan? Toh juga nanti kami pasti akan lebih banyak mengobrol daripada menonton.
Wanita itu meninggalkanku sendirian di teras rumah ini. Setelah ia pergi, aku mengambil ancang-ancang untuk menyiapkan cemilan. Untuk membuat persiapannya sih, simpel aja kok. Aku tinggal membuat es sirup marquisa diteko kaca plus menyiapkan dua buah gelas. Menuangkan popcorn ke dalam mangkuk besar baru dipanaskan dengan microwave. Setelah itu, barulah aku membawa cemilan tersebut ke ruang keluarga.
Setelah selesai membuat, aku meletakkan kudapan tersebut di atas meja ruang keluarga. Lalu aku menyalakan TV plasma di hadapanku dan mendapati sebuah acara infotaiment yang sedang berputar hari itu. Gosip pertama berlalu dan munculah gosip kedua. Aku pun merasa tertarik ketika mataku menangkap cuplikan-cuplikan itu di depanku. Aku ingat dia. Dia adalah orang yang membuat kehebohan d negeri ini ketika ia dan satu grup boybandnya tampil. Dia adalah orang yang paling lama berbicara dengan adikku pada saat Asian Song Festival berlangsung. Dan dia adalah orang yang berhasil membuat satu negeri ini histeris hanya karena sapaannya lewat twitter pada adikku.
Orang ini memang sangat sempurna. Ia tampan, tubuhnya tinggi, ia idola wanita, ahli waris sebuah perusahaan besar, anak orang kaya (sekaligus orang kaya juga. Karena ia sudah memiliki penghasilan sendiri), cerdas, menarik dan yah, sebutkan saja macam-macam hal yang seorang prince charming punya. Tapi, aku terkadang suka heran sendiri. Mengapa pria seperfect dirinya masih belum memiliki kekasih juga sampai sekarang ini? Padahal ia memiliki segalanya. Seharusnya mencari pendamping itu lebih mudah baginya. Tapi, yah, mungkin seleranya terlalu tinggi. Sampai-sampai gadis-gadis di sana pun tak ada yang bisa memenuhi standarnya. Eh, tapi, mungkin saja dia masih belum menemukan yang “pas”. Sehingga dia masih single sampai hari ini. Yah, kita memang tidak bisa langsung men-judge suatu orang atau masalah hanya dari satu sisinya saja ‘kan?
Kokoh, ini udah ketemu kasetnya. Ayo kita tonton!”
Aku menengok padanya. Lalu ia memasukkan kepingan kaset itu kedalam DVD player kami.
Film mulai berputar dan aku berancang-ancang untuk mematikan lampu ruang keluarga. Setelah kembali, aku menontoni cowok atletis berambut pirang bernama Kyle Kingsley. Film itu berlanjut dengan kisah-kisah Kyle yang sombong dan akhirnya dikutuk oleh penyihir menjadi buruk rupa. Kyle harus mendapatkan cinta sejatinya dalam waktu yang telah ditentukan untuk mematahkan kutukannya. Lalu seorang gadis yang pernah diberi mawar oleh Kyle menjadi incaran si Kyle. Karena ayah cewek itu kepergok pernah membunuh orang, Kyle pun mengambil kesempatan itu untuk “mengamankan” cewek itu di rumahnya. Disitulah cinta dalam diri mereka tumbuh. Lalu cewek itu mau pergi karena ada liburan yang dia tunggu-tunggu. Dan Kyle pun melepaskan kepergian cewek itu. Pada akhirnya, Kyle menyusul cewek itu ke sekolahnya dalam keadaan buruk rupanya, dan mereka berciuman, dan kutukan Kyle patah, dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.
Hm, klise.
Kupandang adikku yang dahinya berkerut. Seumur hidup aku mengenalnya, aku tahu, bahwa wajahnya itu menyiratkan rasa kecewa.
“Kenapa? Kamu ngga suka sama endingnya?”
Masih bergeming, ia menjawab, “Bukan itu.”
Setelah ini, aku tahu kok kalau dia akan menceritakan penyebab kekecewaannya tanpa diminta. Tapi aku hanya ingin untuk tetap menjadi sosok kakak yang baik untuknya. Maka dari itu, aku pun bertanya, “Terus apa?”
“Kisahnya banyak yang melenceng dari buku aslinya.” Ia mulai menerangkan “Terus feelingnya ngga dapet. Vanessa Hudgens itu lebih cocok adu akting sama Zac Efron dibanding sama Alex Pettyfer. Chemistry mereka ngga meresap. Ngga bisa membuat aku berpikir bahwa mereka itu cocok. Ngga seperti di bukunya. Jadi, aku kecewa.”
Aku tercengang. Padahal, menurutku filmya bagus-bagus aja, kok. Yah, tapi pendapat orang memang berbeda-beda. “Tapi, menurutku filmya bagus.”
Ia memandangku, tersenyum.
“Hmm, pendapat setiap orang memang berbeda-beda. Tapi aku tetep respect, kok. Sama pendapat yang berbeda itu. Termasuk pendapat Kokoh juga.”
Aku menghela nafas. Berusaha untuk menahan bibirku menyunggingkan senyuman.
 Koh, aku mau baca buku dulu, ya.”
Aku memandangnya sejenak. “Iya. Sanalah kau baca buku-buku buat timpukin maling itu.”
Ia terkekeh kecil. Lalu mengucapkan salam perpisahan dan kembali masuk ke kamarnya. Namun anehnya, setelah beberapa detik kemudian, ia kembali lagi menemuiku.
Kokoh. Besok kita turnya ke negara mana dulu?”
Aku mengingat-ingat jadwal turnya sebentar. Barulah aku tersentak saat mengingat tentang  reschedule jadwal tur kemarin malam.
Koh? Kok Kokoh jadi suka bengong sih hari ini? Kokoh ada masalah?” tanyanya prihatin.
Kugelengkan kepalaku sambil tersenyum kearahnya. Dan untuk mencapai posisi PW, aku mengangkat kakiku untuk selonjoran di atas sofa sebelum membalas;
“Korea Selatan.”
Dibalik sudut mataku, aku bisa melihat matanya sedikit melebar.
“Oh . . .yaudah, aku siapin bawa baju hangat dulu, ya.” Wanita itu pun masuk ke dalam kamarnya.
Hm, aku sudah tahu. Adikku ini pasti akan merasa sedikit sulit untuk kesana. Habis, disana kan ada orang itu. Pasti akan ada banyak media massa yang meliput dirinya karena orang itu. Ia pun pasti akan sulit mencari alasan karena orang itu akan bertindak diluar apa yang telah ia pikirkan. Ah, tapi, apapun yang terjadi. Aku hanya berharap agar semuanya bisa sukses dan lancar. Serta, kalau bisa, adikku ini tidak perlu bertemu dengan orang itu. Aku tidak ingin ia kerepotan hanya karena orang itu. Intinya, aku harap perjalanan kami kali ini lancar Ya Tuhan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar