3
Steve
Muljoto
“Mau tambah?”
Aku memandangi kedua
bola mata itu. Polos, pikirku. Namun sebuah kepribadian baru memancar dari
sorot itu. Sebuah kebijakan. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Dirinya yang
dulu masih polos dan lugu, yang sering
menangis hanya gara-gara ingin membelaku di depan
orangtua kami,
sekarang sudah beranjak untuk berpikir secara rasional dan dewasa. Saat ini dia
sudah bisa bersikap dewasa dan mengambil keputusan secara lebih bijak.
Terkadang, aku suka terharu sendiri mengingat perkembangannya dari dulu sampai
sekarang.
“Koh, kok malah bengong, sih?”
Aku tersentak dari
lamunanku “Oh, iya. Uh . . iya, aku
mau tambah kopinya.”
Ia menghela nafas
pendek. Lalu mulai menuangkan cairan hitam yang masih mengepul ke dalam
cangkirku.
“Emangnya, hari ini aku
beneran ngga ada acara?” tanyanya polos.
Sebagai jawaban, aku
hanya memanggutkan kepala.
“Serius nih?”
Aku menggangguk lagi.
“Kokoh ngga bercanda kan?”
Untuk ketiga kalinya,
aku menggangguk.
Ia menautkan alisnya.
Setelah beberapa saat kemudian, barulah ia merespon;
“Aneh,” ia memberi jeda
“ngga biasanya ada sehari tanpa acara manggung. Apa . . . aku udah ngga terlalu
laku lagi, ya?” ujarnya lebih kepada dirinya sendiri. Dan seketika, aku
langsung membantah hal tersebut.
“Jangan ngawur.
Kebetulan hari ini aku ngejadwal kau biar bisa istirahat total. Soalnya ‘kan, besok kau itu sudah mulai tur
keliling Asia. Aku ngga mau kesehatan kau sampai lemah hanya karena aktivitas panggung.” Celotehku
panjang lebar.
Dari pergerakan
matanya, aku bisa melihat kalau dia itu sedikit terkesima. Namun ia kembali
berkata, “Hm, kalau gitu, kita nonton DVD cassete bareng
yuk, Koh.” Ujarnya riang.
“Ya, boleh saja. Memang
kau mau nonton apa?”
Ia
tercenung. “Kokoh ada
saran?”
Baik, mari
kita telisik. Film-film indie
kebanyakan bergenre horror erotis,
film barat sedang tak ramai, film kung fu mandarin cukup asik, tapi yang
membuatku penasaran…
“I AM.”
Alisnya
berkedut. Wajahnya meminta penjelasan.
“Itu film
dokumentasi para artis SM Entertaiment. Kokoh
punya DVDnya. Kau mau tonton tidak?”
Bola
matanya menerawang. Lalu dengan sebuah gestur gelengan kepala, aku pun
menyerah.
“Terus, kau
mau nonton apa?”
“Beastly.”
“Cerita
apaan itu?”
“Beauty and
the Beast versi abad 21. Aku udah baca bukunya. Tapi belum nonton filmnya. Kokoh mau nemenin aku nonton?”
Film roman
remaja. Pasti akhirnya akan ada ending
hapilly-ever-afternya. Mainstream, tapi apa salahnya nonton
untuk membunuh kebosanan? Toh juga nanti kami pasti akan lebih banyak mengobrol
daripada menonton.
Wanita itu
meninggalkanku sendirian di teras rumah ini. Setelah ia pergi, aku mengambil
ancang-ancang untuk menyiapkan cemilan. Untuk membuat persiapannya sih, simpel aja kok. Aku tinggal membuat es sirup
marquisa diteko kaca plus menyiapkan dua buah gelas. Menuangkan popcorn ke dalam mangkuk besar baru
dipanaskan dengan microwave. Setelah itu, barulah aku membawa cemilan tersebut
ke ruang keluarga.
Setelah selesai
membuat, aku meletakkan kudapan
tersebut di atas meja ruang keluarga. Lalu aku menyalakan TV plasma di
hadapanku dan mendapati sebuah acara infotaiment yang sedang berputar hari itu.
Gosip pertama berlalu dan munculah gosip kedua. Aku pun merasa tertarik ketika
mataku menangkap cuplikan-cuplikan itu di depanku. Aku ingat dia. Dia adalah
orang yang membuat kehebohan d negeri ini ketika ia dan satu grup boybandnya tampil. Dia adalah orang yang
paling lama berbicara dengan adikku pada saat Asian Song Festival berlangsung. Dan dia adalah orang yang
berhasil membuat satu negeri ini histeris hanya
karena sapaannya lewat twitter pada
adikku.
Orang ini memang sangat
sempurna. Ia tampan, tubuhnya tinggi, ia idola wanita, ahli waris sebuah
perusahaan besar, anak orang kaya (sekaligus orang kaya juga. Karena ia sudah
memiliki penghasilan sendiri), cerdas, menarik dan yah, sebutkan saja
macam-macam hal yang seorang prince
charming punya. Tapi, aku terkadang suka heran sendiri. Mengapa pria seperfect dirinya masih belum memiliki kekasih juga
sampai sekarang ini? Padahal ia memiliki segalanya. Seharusnya mencari
pendamping itu lebih mudah
baginya. Tapi, yah, mungkin seleranya terlalu tinggi. Sampai-sampai gadis-gadis
di sana pun tak ada yang bisa memenuhi standarnya. Eh, tapi,
mungkin saja dia masih belum menemukan yang “pas”. Sehingga dia masih single
sampai hari ini. Yah, kita memang tidak bisa langsung men-judge suatu orang atau masalah hanya dari satu sisinya saja ‘kan?
“Kokoh, ini udah ketemu kasetnya. Ayo kita tonton!”
Aku
menengok padanya. Lalu ia memasukkan kepingan kaset itu kedalam DVD player
kami.
Film mulai
berputar dan aku berancang-ancang untuk mematikan lampu ruang keluarga. Setelah
kembali, aku menontoni cowok atletis berambut pirang bernama Kyle Kingsley.
Film itu berlanjut dengan kisah-kisah Kyle yang sombong dan akhirnya dikutuk
oleh penyihir menjadi buruk rupa. Kyle harus mendapatkan cinta sejatinya dalam
waktu yang telah ditentukan untuk mematahkan kutukannya. Lalu seorang gadis
yang pernah diberi mawar oleh Kyle menjadi incaran si Kyle. Karena ayah cewek
itu kepergok pernah membunuh orang, Kyle pun mengambil kesempatan itu untuk
“mengamankan” cewek itu di rumahnya. Disitulah cinta dalam diri mereka tumbuh.
Lalu cewek itu mau pergi karena ada liburan yang dia tunggu-tunggu. Dan Kyle
pun melepaskan kepergian cewek itu. Pada akhirnya, Kyle menyusul cewek itu ke
sekolahnya dalam keadaan buruk rupanya, dan mereka berciuman, dan kutukan Kyle
patah, dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.
Hm, klise.
Kupandang
adikku yang dahinya berkerut. Seumur hidup aku mengenalnya, aku tahu, bahwa
wajahnya itu menyiratkan rasa kecewa.
“Kenapa?
Kamu ngga suka sama endingnya?”
Masih
bergeming, ia menjawab, “Bukan itu.”
Setelah
ini, aku tahu kok kalau dia akan menceritakan penyebab kekecewaannya tanpa
diminta. Tapi aku hanya ingin untuk tetap menjadi sosok kakak yang baik untuknya.
Maka dari itu, aku pun bertanya, “Terus apa?”
“Kisahnya
banyak yang melenceng dari buku aslinya.” Ia mulai menerangkan “Terus feelingnya ngga dapet. Vanessa Hudgens
itu lebih cocok adu akting sama Zac Efron dibanding sama Alex Pettyfer. Chemistry mereka ngga meresap. Ngga bisa
membuat aku berpikir bahwa mereka itu cocok. Ngga seperti di bukunya. Jadi, aku
kecewa.”
Aku
tercengang. Padahal, menurutku filmya bagus-bagus aja, kok. Yah, tapi pendapat
orang memang berbeda-beda. “Tapi, menurutku filmya bagus.”
Ia
memandangku, tersenyum.
“Hmm,
pendapat setiap orang memang berbeda-beda. Tapi aku tetep respect, kok. Sama pendapat yang berbeda itu. Termasuk pendapat Kokoh juga.”
Aku menghela
nafas. Berusaha untuk menahan bibirku menyunggingkan senyuman.
“Koh, aku mau baca buku dulu, ya.”
Aku memandangnya
sejenak. “Iya. Sanalah kau baca buku-buku buat timpukin maling itu.”
Ia terkekeh kecil. Lalu mengucapkan salam
perpisahan dan kembali masuk ke kamarnya. Namun anehnya, setelah beberapa detik
kemudian, ia kembali lagi menemuiku.
“Kokoh. Besok kita turnya ke negara mana dulu?”
Aku mengingat-ingat
jadwal
turnya
sebentar. Barulah aku tersentak saat mengingat
tentang reschedule jadwal tur kemarin malam.
“Koh? Kok Kokoh jadi suka
bengong sih hari ini? Kokoh ada
masalah?” tanyanya prihatin.
Kugelengkan
kepalaku sambil tersenyum kearahnya. Dan untuk mencapai posisi PW, aku
mengangkat kakiku untuk selonjoran di atas sofa sebelum membalas;
“Korea
Selatan.”
Dibalik
sudut mataku, aku bisa melihat matanya sedikit melebar.
“Oh . .
.yaudah, aku siapin bawa baju hangat dulu, ya.” Wanita itu pun masuk ke dalam kamarnya.
Hm, aku
sudah tahu. Adikku ini pasti akan merasa sedikit sulit untuk kesana. Habis,
disana kan ada orang itu. Pasti akan
ada banyak media massa yang meliput dirinya karena orang itu. Ia pun pasti akan sulit mencari alasan karena orang itu akan bertindak diluar apa yang
telah ia pikirkan. Ah, tapi, apapun yang terjadi. Aku hanya berharap agar
semuanya bisa sukses dan lancar. Serta, kalau bisa, adikku ini tidak perlu
bertemu dengan orang itu. Aku tidak ingin ia kerepotan hanya
karena orang itu. Intinya, aku harap perjalanan kami kali ini lancar Ya Tuhan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar