5
Kim Tae Yoon
Sore. Suatu
waktu yang cukup menyenangkan bagiku. Uh, setidaknya, untuk hari ini. Latihanku
sudah selesai dan para member yang lain sedang menutup latihan mereka dengan
minum, mengobrol maupun merencanakan kegiatan setelah ini. Setelah pulang, aku
ingin berendam dengan air hangat yang diberi taburan bunga serta sebuah aroma
terapi diletakkan di sisi bathtubku.
Kurasa dengan cara itu aku lebih bisa relax dan… menikmati hidup. Ohh,
surga, surga. Membayangkannya membuatku ingin cepat pulang dan lang—
“Ya, Pendek.”
Ah, tanpa
mendongkak pun aku sudah tahu siapa yang memanggil. Sang Lucifer penghancur
imajinasi siang bolongku.
“Ada apa, Ahjussi?”
Ia
mengerinyit. Lalu melemparkan tatapan menyebalkannya padaku.
“Ada yang
perlu kubicarakan.”
“Oke,
bicara saja.”
Ia
menggeleng. Rambut pirang arangnya terkibas. “Tidak di sini.”
Gantian aku
yang mengerinyit. “Sepenting itu kah?”
Ia
mengangguk. “Ayo.” Ia melangkahkan kakinya untuk keluar tempat latihan dance. Sementara itu, aku tetap diam di
tempat. Menyadari aku tak mengikutinya, ia berbalik.
“Apa yang
kau lakukan di situ?”
Aku
mengangkat bahuku. “Ahjussi, aku
belum mengatakan ‘iya’.”
Ia mendengus
sambil memutar bola matanya, jelas sekali merasa gerah atas sikapku. Tapi, aku
kan tidak mau disuruh-suruh dan langsung menurut begitu saja kepadanya.
Kedudukan kita setara. Kita sama-sama leader
dari boyband dan girlband terkenal di Asia. Walau aku tahu, usianya lebih tua
dibandingkan aku.
“Pendek,
ini masalah serius. Tolong hentikan sikapmu itu dan ikutlah denganku.”
Ia serius.
Lee Teuk serius. Tapi apa yang membuatnya begitu serius? Memang masalah ini
menyangkut hal apa?
Kutatap
matanya dalam-dalam. Termangu saat menyadari bahwa sorot matanya terlihat lelah
dan…. Tua. Sudah menjadi fakta kalau
sebentar lagi ia berumur 30 tahun. Yang artinya, ia harus ikut Wajib Militer
dan mungkin… di keluarkan dari Super Junior.
Ada sesuatu
yang terasa sakit dalam diriku. Tapi aku tidak mau hal itu terus menjalar.
Kutarik nafas panjang sebagai resolusinya. Di setiap kesempatan, terkadang aku
lupa, kalau dunia hiburan adalah dunia yang keras.
“Ya,
ayo jawab.”
Aku
menunduk. Lalu aku berjalan ke tempatnya berdiri.
“Ayo.”
Kami
berjalan menyusuri koridor-koridor tempat latihan. Kami terus naik ke atas
menggunakan tangga (itu agar tidak ketahuan yang lain). Terus, terus menaiki
tangga. Lalu akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu besi bercat putih dan voila, kami berada di roof tempat latihan dance kami (Jika kau mau
tahu, itu seperti suasana atap sekolah yang sering ada di anime-anime jepang itu,
lho! Aku mengetahuinya gara-gara ketularan Seo Hyun menonton anime Sergeant
Keroro! Eh, tapi anime itu lucu, lho. Dijamin kalian tidak akan menyesal jika
menontonnya!).
“Pendek, jangan
pasang muka bodohmu di sini.”
Tuhan,
kapan sih mulutnya mengeluarkan kata-kata manis?
Tapi tenang
saja, aku selalu menanggapi sikapnya itu dengan santai, seperti biasa. Aku
mendekat ke pagar pembatas roof ini
sambil lalu. Dan angin pun berhembus merdu.
“…Ahjussi, apa yang ingin kau bicarakan?”
suaraku seperti di telan bunyi lalu lalang kendaraan. Kurasa aku harus
mengulanginya, bisa jadi ia tidak mendengar.
“Tentang event yang di berikan Presdir kita.” Oh,
kejutan. Ternyata ia mendengar suaraku. “kau tahu, ketika dua hari yang lalu
para leader di panggil?” ia
mengalihkan pandangannya, bukan untuk menunggu responku. “ketika sudah selesai,
yang lainnya boleh keluar kecuali aku. Di saat kami hanya berdua, Soo Man-ssi menyuruhku untuk mengawasi sesuatu,
atau lebih tepatnya, seseorang.”
Aku diam,
masih menunggu penjelasan.
“Orang itu
adalah Choi Siwon.” Lanjutnya. Tidak menghiraukan aku yang membelalakkan mata mendengar
nama itu “Dari semua orang yang terlintas di pikiranku, tidak pernah sekali pun
Siwon masuk kedalam daftar ‘orang-orang yang wajib diawasi’ milikku. Awalnya
aku tidak tahu mengapa Siwon harus diawasi, tapi ternyata… yah, kurasa ini
memang menghawatirkan.” Ia bertopang dagu. Sementara aku sibuk mencerna
pembicaraan ini.
“Siwon…
dicurigai sedang naksir seseorang oleh Soo Man-ssi.”
Aku
membelalakkan mataku lagi. Sepertinya ia sadar dari ekspresiku kalau aku ingin menginterupsi
penjelannya atau semacamnya. Maka dengan cepat ia melanjutkan, “Wanita ini
bukan orang biasa. Ia justru orang yang luar biasa. Kupikir jika Siwon
berpacaran dengan wanita ini maka pamor Super Junior bisa naik. Namun, sepertinya
Soo Man-ssi tidak berpikir demikian.”
Ia menunduk, lalu menyilangkan tangannya dan bersender ke dinding “Soo Man-ssi
berpikir… jika Siwon memiliki
hubungan asmara dengan wanita ini maka… fans Siwon bisa berkurang dan begitu
pula dengan pamor SuJu.”
Mendengarnya,
aku mengerinyit, lalu kupejamkan mataku dalam-dalam. Sebegitu keraskah dunia
hiburan ini? Bahkan perasaan manusia pun menjadi korban?
“Maka dari
itu, aku meminta sesuatu darimu.” Lee Teuk melanjutkan. Ia menggaruk tengkuknya
yang aku yakini sama sekali tidak gatal “Kim Tae Yoon, aku butuh… nasihatmu…”
…Dan angin
pun berhembus.
Sementara
rahangku terbuka.
Hah? Apa
ini mimpi? Jika iya, tolong bangunkan aku, se. ka. rang.
“Ya, pendek. Kau tidak apa-apa?”
Aku pasti
berhalusinasi. Karena tadi aku mendengar Lee Teuk memanggilku dengan nama
asliku, bukan dengan panggilan ‘pendek’. Dan ia meminta nasihatku. nasihatku NASIHATKU, saudara-saudara! Ini
adalah Lee Teuk yang membutuhkannya, bukan orang lain! Dan mungkin Lee Teuk
sudah sering meminta nasihat pada beberapa orang yang dipercayainya. Tapi aku?
Walau kami satu manajemen bukan berarti kami benar-benar akrab. kami, aku dan
Lee Teuk, hanya benar-benar akrab di depan pers, sementara di kehidupan
sebenarnya? Kami hanya bertukar makian dan berbicara seperlunya. Saling curhat?
Tidak pernah. Saling berbagi? Jangan tanya. Saling membantu? Apalagi. Kami
tidak akrab, namun atas dasar apa ia membutuhkan nasihatku?
“Kenapa?”
akhirnya aku bertanya “Aku tadi salah dengar ‘kan? Karena barusan aku mendengar
bahwa kau membutuhkan nasihatku.” Aku tertawa canggung.
Ia memasang
wajah datar “Kau menghinaku? Aku sedang serius, Pendek.”
Kuberikan
perhatianku seluruhnya pada orang di hadapanku. Kutatap lurus-lurus matanya.
“Nasihat atas apa?” tanyaku lirih.
Ia membuka
mulutnya. Menatapku dalam jangka waktu yang tidak singkat. Tapi kemudian
bibirnya ia tutup kembali. Tubuhnya diputar membelakangiku. Ia lalu mengangkat
kepala untuk menatap semburat putih di atap langit sejenak.
“…Sebenarnya..., Apa yang harus kupilih? Hati, atau pikiran?”
Dengan
tenang, setelah suara angin mendesau. Aku berkata lantang,
“Hati.”
Ia
mengembalikan perhatiannya kepadaku.
“Kenapa?”
Kuhela
nafasku sejenak. A simple question lead to a troublesome answer
“Karena aku sudah terlalu sering melihat orang-orang tidak bahagia karena
mereka memilih berdasarkan pikiran, logika, dan semacamnya. Mereka membohongi
nurani mereka. Hal paling tersuci yang manusia miliki. Maka dari itu mereka
tidak bahagia. Dan, seringkali aku kasihan kepada mereka.”
Waktu
berlalu, yang terdengar hanyalah suara nafas, bunyi kendaraan kota, dan sepoian
angin.
“Waktunya
untuk kembali.” Ia bersuara “member-member
lain pasti akan curiga jika kita terlalu lama disini.”
Aku
mengangguk. Kuikuti tubuhnya untuk turun kebawah. Kami berjalan dalam diam
dengan berbagai macam pikiran di benak kami. Pertanyaannya tadi serasa
membangunkanku. Karena selama ini, walaupun tadi aku menyarankannya untuk
memilih ‘hati’, aku sendiri belum yakin untuk terus-terusan memilih hati. Suatu
tindakan irrasional karena memilih hati
memang sering kulakukan, tapi jika sudah menyangkut perasaan—cinta,
terutama… aku masih takut jika harus memilih ‘hati’. Aku takut disakiti dan
menyakiti, hanya itu. Alasan yang klasik? Ya, aku sudah tahu, kok.
“Taeng!”
Aku menoleh
mendengar suara familiar itu.
“Jessica.”
Sicca
menoleh pada pria di sampingku. “Kalian berdua habis melakukan apa?”
““Tidak ada.””
Eh, kenapa bisa serempak begini?
“Bohong!”
Sicca menyeringai. “Yah, tapi apapun yang kalian lakukan, itu bukan urusanku,
sih. Hanya ingin memberi tahu bahwa hampir semua member sudah selesai exercise dan mulai pulang ke rumah dan dorm masing-masing. Mungkin hanya kalian
yang belum berbenah. Dan anyway, aku harus
pulang duluan, ya, leaders! Bye!” salamnya seraya melakukan gerakan kiss bye.
Lee Teuk
melambaikan tangan singkat, begitu pula denganku. Kami pun kembali pada
kegiatan masing-masing. Ketika aku mulai melangkahkan kaki untuk pergi ke
tempat latihanku, suaranya menghentikanku.
“Pendek.”
Aku menoleh
padanya.
“Ya?”
Ia
menatapku lurus. Dan segalanya terasa hening seketika. Tanpa sadar aku menahan
nafasku. Ia lalu menggaruk tengkuknya dan mengalihkan pandangannya.
“Terima
kasih.”
Dan dengan
itu, ia berlalu.
image source hair pieces for women,hair pieces for women,cheap wigs human hair,cheap wigs,hair toppers,wigs,costume wigs,hair toppers,cheap wigs human hair right here
BalasHapus