Rabu, 17 Juli 2013

Tones [5]

5
 Kim Tae Yoon


Sore. Suatu waktu yang cukup menyenangkan bagiku. Uh, setidaknya, untuk hari ini. Latihanku sudah selesai dan para member yang lain sedang menutup latihan mereka dengan minum, mengobrol maupun merencanakan kegiatan setelah ini. Setelah pulang, aku ingin berendam dengan air hangat yang diberi taburan bunga serta sebuah aroma terapi diletakkan di sisi bathtubku. Kurasa dengan cara itu aku lebih bisa relax dan… menikmati hidup. Ohh, surga, surga. Membayangkannya membuatku ingin cepat pulang dan lang—
Ya, Pendek.”
Ah, tanpa mendongkak pun aku sudah tahu siapa yang memanggil. Sang Lucifer penghancur imajinasi siang bolongku.
“Ada apa, Ahjussi?”
Ia mengerinyit. Lalu melemparkan tatapan menyebalkannya padaku.
“Ada yang perlu kubicarakan.”
“Oke, bicara saja.”
Ia menggeleng. Rambut pirang arangnya terkibas. “Tidak di sini.”
Gantian aku yang mengerinyit. “Sepenting itu kah?”
Ia mengangguk. “Ayo.” Ia melangkahkan kakinya untuk keluar tempat latihan dance. Sementara itu, aku tetap diam di tempat. Menyadari aku tak mengikutinya, ia berbalik.
“Apa yang kau lakukan di situ?”
Aku mengangkat bahuku. “Ahjussi, aku belum mengatakan ‘iya’.”
Ia mendengus sambil memutar bola matanya, jelas sekali merasa gerah atas sikapku. Tapi, aku kan tidak mau disuruh-suruh dan langsung menurut begitu saja kepadanya. Kedudukan kita setara. Kita sama-sama leader dari boyband dan girlband terkenal di Asia. Walau aku tahu, usianya lebih tua dibandingkan aku.
“Pendek, ini masalah serius. Tolong hentikan sikapmu itu dan ikutlah denganku.”
Ia serius. Lee Teuk serius. Tapi apa yang membuatnya begitu serius? Memang masalah ini menyangkut hal apa?

Kutatap matanya dalam-dalam. Termangu saat menyadari bahwa sorot matanya terlihat lelah dan…. Tua. Sudah menjadi fakta kalau sebentar lagi ia berumur 30 tahun. Yang artinya, ia harus ikut Wajib Militer dan mungkin… di keluarkan dari Super Junior.
Ada sesuatu yang terasa sakit dalam diriku. Tapi aku tidak mau hal itu terus menjalar. Kutarik nafas panjang sebagai resolusinya. Di setiap kesempatan, terkadang aku lupa, kalau dunia hiburan adalah dunia yang keras.
 “Ya, ayo jawab.”
Aku menunduk. Lalu aku berjalan ke tempatnya berdiri.
“Ayo.”
Kami berjalan menyusuri koridor-koridor tempat latihan. Kami terus naik ke atas menggunakan tangga (itu agar tidak ketahuan yang lain). Terus, terus menaiki tangga. Lalu akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu besi bercat putih dan voila, kami berada di roof tempat latihan dance kami  (Jika kau mau tahu, itu seperti suasana atap sekolah yang sering ada di anime-anime jepang itu, lho! Aku mengetahuinya gara-gara ketularan Seo Hyun menonton anime Sergeant Keroro! Eh, tapi anime itu lucu, lho. Dijamin kalian tidak akan menyesal jika menontonnya!).
“Pendek, jangan pasang muka bodohmu di sini.”
Tuhan, kapan sih mulutnya mengeluarkan kata-kata manis?
Tapi tenang saja, aku selalu menanggapi sikapnya itu dengan santai, seperti biasa. Aku mendekat ke pagar pembatas roof ini sambil lalu. Dan angin pun berhembus merdu.
“…Ahjussi, apa yang ingin kau bicarakan?” suaraku seperti di telan bunyi lalu lalang kendaraan. Kurasa aku harus mengulanginya, bisa jadi ia tidak mendengar.
“Tentang event yang di berikan Presdir kita.” Oh, kejutan. Ternyata ia mendengar suaraku. “kau tahu, ketika dua hari yang lalu para leader di panggil?” ia mengalihkan pandangannya, bukan untuk menunggu responku. “ketika sudah selesai, yang lainnya boleh keluar kecuali aku. Di saat kami hanya berdua, Soo Man-ssi menyuruhku untuk mengawasi sesuatu, atau lebih tepatnya, seseorang.”
Aku diam, masih menunggu penjelasan.
“Orang itu adalah Choi Siwon.” Lanjutnya. Tidak menghiraukan aku yang membelalakkan mata mendengar nama itu “Dari semua orang yang terlintas di pikiranku, tidak pernah sekali pun Siwon masuk kedalam daftar ‘orang-orang yang wajib diawasi’ milikku. Awalnya aku tidak tahu mengapa Siwon harus diawasi, tapi ternyata… yah, kurasa ini memang menghawatirkan.” Ia bertopang dagu. Sementara aku sibuk mencerna pembicaraan ini.
“Siwon… dicurigai sedang naksir seseorang oleh Soo Man-ssi.”
Aku membelalakkan mataku lagi. Sepertinya ia sadar dari ekspresiku kalau aku ingin menginterupsi penjelannya atau semacamnya. Maka dengan cepat ia melanjutkan, “Wanita ini bukan orang biasa. Ia justru orang yang luar biasa. Kupikir jika Siwon berpacaran dengan wanita ini maka pamor Super Junior bisa naik. Namun, sepertinya Soo Man-ssi tidak berpikir demikian.” Ia menunduk, lalu menyilangkan tangannya dan bersender ke dinding “Soo Man-ssi berpikir… jika Siwon memiliki hubungan asmara dengan wanita ini maka… fans Siwon bisa berkurang dan begitu pula dengan pamor SuJu.”
Mendengarnya, aku mengerinyit, lalu kupejamkan mataku dalam-dalam. Sebegitu keraskah dunia hiburan ini? Bahkan perasaan manusia pun menjadi korban?
“Maka dari itu, aku meminta sesuatu darimu.” Lee Teuk melanjutkan. Ia menggaruk tengkuknya yang aku yakini sama sekali tidak gatal “Kim Tae Yoon, aku butuh… nasihatmu…”
…Dan angin pun berhembus.
Sementara rahangku terbuka.
Hah? Apa ini mimpi? Jika iya, tolong bangunkan aku, se. ka. rang.
Ya, pendek. Kau tidak apa-apa?”
Aku pasti berhalusinasi. Karena tadi aku mendengar Lee Teuk memanggilku dengan nama asliku, bukan dengan panggilan ‘pendek’. Dan ia meminta nasihatku. nasihatku NASIHATKU, saudara-saudara! Ini adalah Lee Teuk yang membutuhkannya, bukan orang lain! Dan mungkin Lee Teuk sudah sering meminta nasihat pada beberapa orang yang dipercayainya. Tapi aku? Walau kami satu manajemen bukan berarti kami benar-benar akrab. kami, aku dan Lee Teuk, hanya benar-benar akrab di depan pers, sementara di kehidupan sebenarnya? Kami hanya bertukar makian dan berbicara seperlunya. Saling curhat? Tidak pernah. Saling berbagi? Jangan tanya. Saling membantu? Apalagi. Kami tidak akrab, namun atas dasar apa ia membutuhkan nasihatku?
“Kenapa?” akhirnya aku bertanya “Aku tadi salah dengar ‘kan? Karena barusan aku mendengar bahwa kau membutuhkan nasihatku.” Aku tertawa canggung.
Ia memasang wajah datar “Kau menghinaku? Aku sedang serius, Pendek.”
Kuberikan perhatianku seluruhnya pada orang di hadapanku. Kutatap lurus-lurus matanya. “Nasihat atas apa?” tanyaku lirih.
Ia membuka mulutnya. Menatapku dalam jangka waktu yang tidak singkat. Tapi kemudian bibirnya ia tutup kembali. Tubuhnya diputar membelakangiku. Ia lalu mengangkat kepala untuk menatap semburat putih di atap langit sejenak.
“…Sebenarnya...,  Apa yang harus kupilih? Hati, atau pikiran?”
Dengan tenang, setelah suara angin mendesau. Aku berkata lantang,
“Hati.”
Ia mengembalikan perhatiannya kepadaku.
“Kenapa?”
Kuhela nafasku sejenak. A simple question lead to a troublesome answer “Karena aku sudah terlalu sering melihat orang-orang tidak bahagia karena mereka memilih berdasarkan pikiran, logika, dan semacamnya. Mereka membohongi nurani mereka. Hal paling tersuci yang manusia miliki. Maka dari itu mereka tidak bahagia. Dan, seringkali aku kasihan kepada mereka.”
Waktu berlalu, yang terdengar hanyalah suara nafas, bunyi kendaraan kota, dan sepoian  angin.
“Waktunya untuk kembali.” Ia bersuara “member-member lain pasti akan curiga jika kita terlalu lama disini.”
Aku mengangguk. Kuikuti tubuhnya untuk turun kebawah. Kami berjalan dalam diam dengan berbagai macam pikiran di benak kami. Pertanyaannya tadi serasa membangunkanku. Karena selama ini, walaupun tadi aku menyarankannya untuk memilih ‘hati’, aku sendiri belum yakin untuk terus-terusan memilih hati. Suatu tindakan irrasional karena memilih hati  memang sering kulakukan, tapi jika sudah menyangkut perasaan—cinta, terutama… aku masih takut jika harus memilih ‘hati’. Aku takut disakiti dan menyakiti, hanya itu. Alasan yang klasik? Ya, aku sudah tahu, kok.
“Taeng!”
Aku menoleh mendengar suara familiar itu.
“Jessica.”
Sicca menoleh pada pria di sampingku. “Kalian berdua habis melakukan apa?”
““Tidak ada.”” Eh, kenapa bisa serempak begini?
“Bohong!” Sicca menyeringai. “Yah, tapi apapun yang kalian lakukan, itu bukan urusanku, sih. Hanya ingin memberi tahu bahwa hampir semua member sudah selesai exercise dan mulai pulang ke rumah dan dorm masing-masing. Mungkin hanya kalian yang belum berbenah. Dan anyway, aku harus pulang duluan, ya, leaders! Bye!” salamnya seraya melakukan gerakan kiss bye.
Lee Teuk melambaikan tangan singkat, begitu pula denganku. Kami pun kembali pada kegiatan masing-masing. Ketika aku mulai melangkahkan kaki untuk pergi ke tempat latihanku, suaranya menghentikanku.
“Pendek.”
Aku menoleh padanya.
“Ya?”
Ia menatapku lurus. Dan segalanya terasa hening seketika. Tanpa sadar aku menahan nafasku. Ia lalu menggaruk tengkuknya dan mengalihkan pandangannya.
“Terima kasih.”
Dan dengan itu, ia berlalu.



1 komentar: